BANGUNAN HEMAT ENERGI
Isu tentang bangunan
hemat energi sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Isu tersebut sudah lama
didengungkan oleh para ilmuwan di bidang Arsitektur terutama di alur Fisika
Bangunan, mengingat keterbatasan akan ketersediaan sumber daya alam yang tak
terbarukan tersebut sudah lama diprediksi. Banyak teori-teori dan konsep
tentang bangunan hemat energi telah disampaikan baik melalui buku-buku teks
maupun jurnal-jurnal ilmiah. Namun tampaknya masih sangat sedikit para arsitek
maupun masyarakat umum yang menanggapi dan memberi sedikit perhatian terhadap
isu tersebut secara positif. Baru beberapa bulan terakhir ini orang mulai
berpikir melakukan penghematan-penghematan dalam penggunaan listrik dan bahan
bakar minyak.
Nah, seiring dengan krisis bahan bakar minyak dunia tersebut, beberapa waktu yang lalu, Wakil Presiden Yusuf Kalla menantang para arsitek untuk dapat menciptakan bangunan hemat energi. Pertanyaannya adalah kenapa baru sekarang hal itu disampaikan dan kenapa hanya kepada para arsitek, kog tidak ditujukan kepada masyarakat dalam arti yang lebih luas. Bukankah karya arsitektur juga dipengaruhi dan dibentuk oleh masyarakat penggunanya. Tantangan ini tentu ada hubungannya dengan melambungnya harga minyak dunia yang saat ini sudah mencapai kisaran di atas US$ 120 per barrel. Melambungnya harga minyak dunia yang sedemikian tingginya tentu sangat berkorelasi dengan besaran subsidi BBM yang harus ditanggung oleh pemerintah. Oleh karena dengan mengupayakan bangunan yang hemat energi diharapkan para arsitek dapat berperan dan memberi perhatian yang lebih besar dalam penghematan bahan bakar yang selama ini masih banyak digunakan untuk menghasilkan listrik PLN. Meskipun disadari, peran penghematan energi melalui konsep bangunan tidak hanya menjadi tantangan para arsitek melainkan juga menjadi tantangan bagi seluruh masyarakat Indonesia dan bahkan masyarakat dunia tanpa terkecuali.
Tantangan Wakil Presiden ini sangatlah wajar disampaikan mengingat banyak karya-karya arsitektur kita selama ini cenderung kurang memanfaatkan potensi lingkungannya secara maksimal. Banyak sumber daya alam terbarukan (Renewable resources) hilang begitu saja tanpa dimanfaatkan. Banyak bangunan yang sangat boros energi terutama dalam penggunaan sistim pengkondisian udara dan sistim pencahayaan. Di sisi lain banyak pula anggota masyarakat yang kurang peduli dengan masalah energi ini. Pada umumnya mereka beranggapan yang penting bisa membayar, tanpa memikirkan dampaknya di kemudian hari. Akhirnya, tanpa disadari, biaya energi listrik makin membengkak, sementara bangunan sudah terlanjur dirancang secara kaca masif dengan mengandalkan sepenuhnya pada sistim penghawaan buatan. Nah ketika ketersediaan listrik dalam kondisi kritis dan Bahan Bakar Minyak semakin mahal, barulah disadari akan pentingnya bangunan hemat energi tersebut.
Nah, seiring dengan krisis bahan bakar minyak dunia tersebut, beberapa waktu yang lalu, Wakil Presiden Yusuf Kalla menantang para arsitek untuk dapat menciptakan bangunan hemat energi. Pertanyaannya adalah kenapa baru sekarang hal itu disampaikan dan kenapa hanya kepada para arsitek, kog tidak ditujukan kepada masyarakat dalam arti yang lebih luas. Bukankah karya arsitektur juga dipengaruhi dan dibentuk oleh masyarakat penggunanya. Tantangan ini tentu ada hubungannya dengan melambungnya harga minyak dunia yang saat ini sudah mencapai kisaran di atas US$ 120 per barrel. Melambungnya harga minyak dunia yang sedemikian tingginya tentu sangat berkorelasi dengan besaran subsidi BBM yang harus ditanggung oleh pemerintah. Oleh karena dengan mengupayakan bangunan yang hemat energi diharapkan para arsitek dapat berperan dan memberi perhatian yang lebih besar dalam penghematan bahan bakar yang selama ini masih banyak digunakan untuk menghasilkan listrik PLN. Meskipun disadari, peran penghematan energi melalui konsep bangunan tidak hanya menjadi tantangan para arsitek melainkan juga menjadi tantangan bagi seluruh masyarakat Indonesia dan bahkan masyarakat dunia tanpa terkecuali.
Tantangan Wakil Presiden ini sangatlah wajar disampaikan mengingat banyak karya-karya arsitektur kita selama ini cenderung kurang memanfaatkan potensi lingkungannya secara maksimal. Banyak sumber daya alam terbarukan (Renewable resources) hilang begitu saja tanpa dimanfaatkan. Banyak bangunan yang sangat boros energi terutama dalam penggunaan sistim pengkondisian udara dan sistim pencahayaan. Di sisi lain banyak pula anggota masyarakat yang kurang peduli dengan masalah energi ini. Pada umumnya mereka beranggapan yang penting bisa membayar, tanpa memikirkan dampaknya di kemudian hari. Akhirnya, tanpa disadari, biaya energi listrik makin membengkak, sementara bangunan sudah terlanjur dirancang secara kaca masif dengan mengandalkan sepenuhnya pada sistim penghawaan buatan. Nah ketika ketersediaan listrik dalam kondisi kritis dan Bahan Bakar Minyak semakin mahal, barulah disadari akan pentingnya bangunan hemat energi tersebut.
Sistim penghawaan dan
Pencahayaan
Seperti diketahui, ada beberapa kegiatan penggunaan energi di dalam bangunan (rumah tinggal) seperti: kegiatan penghawaan, pencahayaan, kegiatan internal rumah tangga: memasak, seterika, mencuci (dengan mesin cuci), dll. Diakui atau tidak, semua kegiatan di atas tentu berkaitan dengan penggunaan energi listrik dan akhirnya berujung pangkal pada penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Semakin tinggi intensitas kegiatan-kegiatan dalam bangunan tersebut, akan semakin tinggi penggunaan energi listrik, berarti semakin tinggi pula biaya yang dikeluarkankan.
Dari kegiatan-kegiatan dalam bangunan tersebut, secara umum, ada 2 kegiatan yang diidentifikasi sangat berperan dan berhubungan langsung dengan pemborosan energi, yaitu penghawaan/ pengkondisian udara dan pencahayaan. Artinya adalah penggunaan energi sebagai akibat kedua kegiatan penghawaan dan pencahayaan tersebut.
Sistim penghawaan dan pencahayaan buatan ditengarai dianggap sebagai sumber pemborosan energi terbesar dalam bangunan, yaitu sekitar 60 % dari energi yang digunakan dalam bangunan. Pemborosan energi dari sisi penghawaan dan pencahayaan akan dapat dikurangi apabila bangunan didesain secara tepat. Sementara sistim alami merupakan solusi bagi penghematan energi, karena energi yang disediakan oleh matahari merupakan energi yang dapat diperbaharui. Oleh karena itu tepat kiranya apa yang ditawarkan oleh Bapak Wakil Presiden kepada para arsitek untuk menciptakan bangunan yang hemat energi yang betul-betul bisa memanfaatkan sistim alami dalam menyediakan kenyamanan termal dan visualnya.
Seperti diketahui, ada beberapa kegiatan penggunaan energi di dalam bangunan (rumah tinggal) seperti: kegiatan penghawaan, pencahayaan, kegiatan internal rumah tangga: memasak, seterika, mencuci (dengan mesin cuci), dll. Diakui atau tidak, semua kegiatan di atas tentu berkaitan dengan penggunaan energi listrik dan akhirnya berujung pangkal pada penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Semakin tinggi intensitas kegiatan-kegiatan dalam bangunan tersebut, akan semakin tinggi penggunaan energi listrik, berarti semakin tinggi pula biaya yang dikeluarkankan.
Dari kegiatan-kegiatan dalam bangunan tersebut, secara umum, ada 2 kegiatan yang diidentifikasi sangat berperan dan berhubungan langsung dengan pemborosan energi, yaitu penghawaan/ pengkondisian udara dan pencahayaan. Artinya adalah penggunaan energi sebagai akibat kedua kegiatan penghawaan dan pencahayaan tersebut.
Sistim penghawaan dan pencahayaan buatan ditengarai dianggap sebagai sumber pemborosan energi terbesar dalam bangunan, yaitu sekitar 60 % dari energi yang digunakan dalam bangunan. Pemborosan energi dari sisi penghawaan dan pencahayaan akan dapat dikurangi apabila bangunan didesain secara tepat. Sementara sistim alami merupakan solusi bagi penghematan energi, karena energi yang disediakan oleh matahari merupakan energi yang dapat diperbaharui. Oleh karena itu tepat kiranya apa yang ditawarkan oleh Bapak Wakil Presiden kepada para arsitek untuk menciptakan bangunan yang hemat energi yang betul-betul bisa memanfaatkan sistim alami dalam menyediakan kenyamanan termal dan visualnya.
Problem Iklim Tropis
lembab, kenyamanan termal dan visual.
Seperti diketahui karakteristik iklim Tropis Lembab, sebagaimana yang terjadi di negara kita, merupakan kondisi iklim yang unik. Pada lingkungan semacam itu biasanya ditandai dengan kondisi temperatur udara antara 22 – 32 oC dan kelembaban udara yang tinggi yaitu di atas 90 % dengan curah hujan yang sangat tinggi. Cahaya matahari dapat dinikmati sepanjang hari dengan disertai intensitas radiasi panas yang sangat tinggi. Sementara kondisi kecepatan udara cenderung lemah sampai sedang.
Dengan kondisi semacam itu udara terasa sangat panas, keringat yang dikeluarkan oleh tubuh sebagai bagian dari proses metabolisme sulit kering akibat tingginya kelembaban udara di daerah tropis lembab. Kenyamanan termal sulit diperoleh. Sementara dari sisi pencahayaan alami, potensi sinar matahari yang melimpah sepanjang hari tidak termanfaatkan secara tepat. Langkah selanjutnya yang sering digunakan orang untuk memperoleh kenyamanan termal dan visual adalah dengan menggunakan sistim penghawaan dan pencahayaan buatan sepanjang hari. Padahal penggunaan sistim penghawaan dan pencahayaan terkadang sangat kontradiktif, artinya apabila kita akan memanfaatkan sistim pencahayaan alami secara maksimal ke dalam bangunan berarti panas yang masuk ke dalam bangunan juga akan semakin besar dan berarti pula akan meningkatkan pemanasan dalam bangunan. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan temperatur ruang dalam. Nah apabila pemanasan bangunan ini akan diselesaikan dengan sistim penghawaan buatan maka memerlukan kapasitas AC yang lebih besar dan menambah pemborosan, dan kondisi ini berimplikasi terhadap konsumsi listrik yang besar pula.
Seperti diketahui karakteristik iklim Tropis Lembab, sebagaimana yang terjadi di negara kita, merupakan kondisi iklim yang unik. Pada lingkungan semacam itu biasanya ditandai dengan kondisi temperatur udara antara 22 – 32 oC dan kelembaban udara yang tinggi yaitu di atas 90 % dengan curah hujan yang sangat tinggi. Cahaya matahari dapat dinikmati sepanjang hari dengan disertai intensitas radiasi panas yang sangat tinggi. Sementara kondisi kecepatan udara cenderung lemah sampai sedang.
Dengan kondisi semacam itu udara terasa sangat panas, keringat yang dikeluarkan oleh tubuh sebagai bagian dari proses metabolisme sulit kering akibat tingginya kelembaban udara di daerah tropis lembab. Kenyamanan termal sulit diperoleh. Sementara dari sisi pencahayaan alami, potensi sinar matahari yang melimpah sepanjang hari tidak termanfaatkan secara tepat. Langkah selanjutnya yang sering digunakan orang untuk memperoleh kenyamanan termal dan visual adalah dengan menggunakan sistim penghawaan dan pencahayaan buatan sepanjang hari. Padahal penggunaan sistim penghawaan dan pencahayaan terkadang sangat kontradiktif, artinya apabila kita akan memanfaatkan sistim pencahayaan alami secara maksimal ke dalam bangunan berarti panas yang masuk ke dalam bangunan juga akan semakin besar dan berarti pula akan meningkatkan pemanasan dalam bangunan. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan temperatur ruang dalam. Nah apabila pemanasan bangunan ini akan diselesaikan dengan sistim penghawaan buatan maka memerlukan kapasitas AC yang lebih besar dan menambah pemborosan, dan kondisi ini berimplikasi terhadap konsumsi listrik yang besar pula.
Konsep Bangunan Hemat
Energi?
Ketika kita akan mewujudkan bangunan hemat energi, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana energi digunakan untuk melangsungkan kegiatan-kegiatan dalam bangunan seperti untuk pendinginan udara, pencahayaan, mekanikal dll. Selanjutnya, bagaimana konsumsi energi dalam bangunan tersebut dapat dikurangi. Mengingat bagian terbesar dari penggunaan energi dalam bangunan dikonsumsi dalam kegiatan penghawaan/ pendinginan bangunan dan pencahayaan (60 %) maka yang ditekankan dalam hal ini adalah, yang pertama, meminimalkan proses pemanasan yang masuk ke dalam bangunan (heat gain process) baik secara internal dan eksternal dan memaksimalkan proses pengeluaran panas dari bangunan (heat loss process). Yang kedua adalah mengatur proses pemasukan cahaya alami dan sekaligus meminimalkan panas yang masuk ke dalam bangunan.
Proses pemasukan panas dan pengeluaran panas dalam bangunan harus diupayakan seimbang, artinya apabila proses pemanasan lebih besar dibandingkan proses pelepasan panas maka bangunan akan mengalami peningkatan temperatur udara (overheating), sedangkan pelepasan panas lebih besar dibandingkan dengan pemasukan panas maka bangunan akan mengalami kondisi sebaliknya yaitu penurunan temperatur udara (underheating).
Oleh karena itu, untuk menekan beban pelepasan panas yang besar dalam bangunan, pemasukan panas harus diupayakan pada tingkat yang serendah-rendahnya. Sebagaimana diulas di depan, pemanasan bangunan dapat terjadi melalui proses internal dan eksternal. Secara internal, orang hanya bisa mengupayakan melalui pengaturan intensitas pemakaian alat-alat rumah tangga yang bersifat elektikal, seperti: penyalaan lampu pada siang hari, mengurani pemakaian seterika listrik, mesin cuci, AC. Pada sisi eksternal, pemasukan panas sulit diperkirakan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh seberapa besar intensitas panas matahari masuk ke dalam bangunan dan sejauh mana elemen bangunan dapat mereduksi panas eksternal yang masuk. Panas matahari dapat masuk ke bangunan melalui material bangunan terutama atap, lantai dan dinding melalui proses konduksi, masuk melalui udara dengan proses konveksi dan melalui gelombang elektromagnetik dengan cara radiasi.
Terkait dengan konsep Bangunan Hemat Energi, proses pemasukan panas dan pelepasan panas dalam bangunan serta pemasukkan cahaya, mau nggak mau, suka tidak suka, harus diselesaikan secara alami (natural concept) yaitu melalui pendekatan arsitektural dan non arsitektural. Artinya permasalahan kenyamanan termal dan visual diupayakan untuk diselesaikan melalui penggunaan elemen- elemen bangunan itu sendiri atau dengan alat yang dapat memanfaatkan energi alam yang terbarukan. Meskipun disadari bahwa penggunaan konsep alami tidak serta merta bisa menjawab kebutuhan kenyamanan termal seperti yang kita inginkan, tetapi minimal kita tidak terlalu tergantung sepenuhnya pada kondisi melonjaknya harga Bahan Bakar Minyak.
Ketika kita akan mewujudkan bangunan hemat energi, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana energi digunakan untuk melangsungkan kegiatan-kegiatan dalam bangunan seperti untuk pendinginan udara, pencahayaan, mekanikal dll. Selanjutnya, bagaimana konsumsi energi dalam bangunan tersebut dapat dikurangi. Mengingat bagian terbesar dari penggunaan energi dalam bangunan dikonsumsi dalam kegiatan penghawaan/ pendinginan bangunan dan pencahayaan (60 %) maka yang ditekankan dalam hal ini adalah, yang pertama, meminimalkan proses pemanasan yang masuk ke dalam bangunan (heat gain process) baik secara internal dan eksternal dan memaksimalkan proses pengeluaran panas dari bangunan (heat loss process). Yang kedua adalah mengatur proses pemasukan cahaya alami dan sekaligus meminimalkan panas yang masuk ke dalam bangunan.
Proses pemasukan panas dan pengeluaran panas dalam bangunan harus diupayakan seimbang, artinya apabila proses pemanasan lebih besar dibandingkan proses pelepasan panas maka bangunan akan mengalami peningkatan temperatur udara (overheating), sedangkan pelepasan panas lebih besar dibandingkan dengan pemasukan panas maka bangunan akan mengalami kondisi sebaliknya yaitu penurunan temperatur udara (underheating).
Oleh karena itu, untuk menekan beban pelepasan panas yang besar dalam bangunan, pemasukan panas harus diupayakan pada tingkat yang serendah-rendahnya. Sebagaimana diulas di depan, pemanasan bangunan dapat terjadi melalui proses internal dan eksternal. Secara internal, orang hanya bisa mengupayakan melalui pengaturan intensitas pemakaian alat-alat rumah tangga yang bersifat elektikal, seperti: penyalaan lampu pada siang hari, mengurani pemakaian seterika listrik, mesin cuci, AC. Pada sisi eksternal, pemasukan panas sulit diperkirakan. Hal ini banyak dipengaruhi oleh seberapa besar intensitas panas matahari masuk ke dalam bangunan dan sejauh mana elemen bangunan dapat mereduksi panas eksternal yang masuk. Panas matahari dapat masuk ke bangunan melalui material bangunan terutama atap, lantai dan dinding melalui proses konduksi, masuk melalui udara dengan proses konveksi dan melalui gelombang elektromagnetik dengan cara radiasi.
Terkait dengan konsep Bangunan Hemat Energi, proses pemasukan panas dan pelepasan panas dalam bangunan serta pemasukkan cahaya, mau nggak mau, suka tidak suka, harus diselesaikan secara alami (natural concept) yaitu melalui pendekatan arsitektural dan non arsitektural. Artinya permasalahan kenyamanan termal dan visual diupayakan untuk diselesaikan melalui penggunaan elemen- elemen bangunan itu sendiri atau dengan alat yang dapat memanfaatkan energi alam yang terbarukan. Meskipun disadari bahwa penggunaan konsep alami tidak serta merta bisa menjawab kebutuhan kenyamanan termal seperti yang kita inginkan, tetapi minimal kita tidak terlalu tergantung sepenuhnya pada kondisi melonjaknya harga Bahan Bakar Minyak.
Pendekatan
Arsitektural
Secara arsitektural, konsep bangunan hemat energi sebagaimana diuraikan di muka dimulai dari keseimbangan proses pemasukan panas dan pelepasan panas dalam bangunan serta proses pemasukkan cahaya alami dan sekaligus proses pengurangan panasnya. Proses pemasukan panas bangunan terutama dari sisi pemanasan eksternal dapat direduksi melalui strategi arah hadap bangunan yaitu dengan menempatkan dinding-dinding yang lebar, jendela dan alat ventilasi pada sisi-sisi yang tidak berhadapan secara langsung ke sinar matahari, penempatan tanaman-tanaman yang rindang untuk memberikan efek peneduhan pada lingkungan bangunan (terutama pada sisi Timur dan Barat), alat-alat pembayangan dalam bangunan untuk menurunkan temperatur permukaan bangunan, pengaturan sistim tata ruang yang memungkinkan cahaya dan aliran udara dapat menjangkau dengan mudah ke sudut-sudut ruang. Strategi yang lain yang secara arsitektural dapat diaplikasikan untuk menurunkan pengaruh panas eksternal tersebut, seperti: pemilihan material bangunan yang dapat meredam dan menyimpan panas yang masuk ke dalam bangunan , warna bangunan yang tidak menyerap panas (warna putih atau yang terang), tekstur permukaan yang dapat merefleksikan panas dll.
Dari sisi pelepasan panas bangunan, aliran udara yang baik di dalam bangunan, sementara ini masih dianggap sebagai strategi yang ampuh untuk mereduksi pemanasan bangunan. Aliran udara yang baik melalui ventilasi silang sebaiknya diaplikasikan dalam bangunan untuk mengurangi ketergantungan pada sistim penghawaan buatan. Namun pada kondisi tertentu, seperti akibat adanya kepadatan bangunan yang tinggi, lahan yang terbatas dan lain-lain, strategi ini sulit diaplikasikan, terutama untuk penempatan alat ventilasi, dan topik ini masih dalam proses pendalaman oleh penulis di program S3- Arsitektur ITS Surabaya.
Dari aspek pencahayaan, perlu diingat bahwa matahari sebagai sumber pencahayaan alami mempunyai 2 aspek yang perlu dipertimbangkan, yaitu aspek cahaya dan panas. Oleh sebab itu kita harus mempertimbangkan kedua aspek tersebut dalam desain. Di satu sisi kita bisa memanfaatkan pencahayaan yang murah pada siang hari sehingga dapat menghindari penggunaan cahaya buatan pada siang hari dan di sisi lain kita bisa menekan panas yang masuk ke dalam bangunan. strategi awal yang dapat dilakukan adalah melalui pengolahan tata ruang, artinya dihindari ruang di dalam ruang (ruang bertumpuk). Toh seandainya hal itu harus terjadi, maka solusinya adalah dengan meninggikan bagian atap yang dapat memungkinkan penempatan bukaan atas, sehingga cahaya dan aliran udara dapat diakses ke dalam ruang tersebut. Strategi yang kedua adalah mengorientasikan bangunan melalui alat-alat bukaan (jendela dan ventilasi) pada sisi bangunan yang tidak terkena pancaran matahari secara langsung dan sekaligus juga merespon arah angin datang (biasanya sisi Utara dan Selatan). Yang ketiga adalah melengkapi bangunan dengan alat-alat pembayangan baik secara vertikal maupun horizontal. Strategi yang ke empat yang dapat diterapkan adalah menjaga ketinggian dinding dan atap yang memungkinkan cahaya dan angin masuk ke bangunan dan sekaligus dapat mengurangi panas yang masuk dan tempias dari ait hujan. Strategi kelima adalah menerapkan pencahayaan dari atas, terutama untuk denah bangunan yang terlalu luas. Pada strategi yang kelima ini, aspek panas yang masuk tetap harus dipertimbangkan.
Secara arsitektural, konsep bangunan hemat energi sebagaimana diuraikan di muka dimulai dari keseimbangan proses pemasukan panas dan pelepasan panas dalam bangunan serta proses pemasukkan cahaya alami dan sekaligus proses pengurangan panasnya. Proses pemasukan panas bangunan terutama dari sisi pemanasan eksternal dapat direduksi melalui strategi arah hadap bangunan yaitu dengan menempatkan dinding-dinding yang lebar, jendela dan alat ventilasi pada sisi-sisi yang tidak berhadapan secara langsung ke sinar matahari, penempatan tanaman-tanaman yang rindang untuk memberikan efek peneduhan pada lingkungan bangunan (terutama pada sisi Timur dan Barat), alat-alat pembayangan dalam bangunan untuk menurunkan temperatur permukaan bangunan, pengaturan sistim tata ruang yang memungkinkan cahaya dan aliran udara dapat menjangkau dengan mudah ke sudut-sudut ruang. Strategi yang lain yang secara arsitektural dapat diaplikasikan untuk menurunkan pengaruh panas eksternal tersebut, seperti: pemilihan material bangunan yang dapat meredam dan menyimpan panas yang masuk ke dalam bangunan , warna bangunan yang tidak menyerap panas (warna putih atau yang terang), tekstur permukaan yang dapat merefleksikan panas dll.
Dari sisi pelepasan panas bangunan, aliran udara yang baik di dalam bangunan, sementara ini masih dianggap sebagai strategi yang ampuh untuk mereduksi pemanasan bangunan. Aliran udara yang baik melalui ventilasi silang sebaiknya diaplikasikan dalam bangunan untuk mengurangi ketergantungan pada sistim penghawaan buatan. Namun pada kondisi tertentu, seperti akibat adanya kepadatan bangunan yang tinggi, lahan yang terbatas dan lain-lain, strategi ini sulit diaplikasikan, terutama untuk penempatan alat ventilasi, dan topik ini masih dalam proses pendalaman oleh penulis di program S3- Arsitektur ITS Surabaya.
Dari aspek pencahayaan, perlu diingat bahwa matahari sebagai sumber pencahayaan alami mempunyai 2 aspek yang perlu dipertimbangkan, yaitu aspek cahaya dan panas. Oleh sebab itu kita harus mempertimbangkan kedua aspek tersebut dalam desain. Di satu sisi kita bisa memanfaatkan pencahayaan yang murah pada siang hari sehingga dapat menghindari penggunaan cahaya buatan pada siang hari dan di sisi lain kita bisa menekan panas yang masuk ke dalam bangunan. strategi awal yang dapat dilakukan adalah melalui pengolahan tata ruang, artinya dihindari ruang di dalam ruang (ruang bertumpuk). Toh seandainya hal itu harus terjadi, maka solusinya adalah dengan meninggikan bagian atap yang dapat memungkinkan penempatan bukaan atas, sehingga cahaya dan aliran udara dapat diakses ke dalam ruang tersebut. Strategi yang kedua adalah mengorientasikan bangunan melalui alat-alat bukaan (jendela dan ventilasi) pada sisi bangunan yang tidak terkena pancaran matahari secara langsung dan sekaligus juga merespon arah angin datang (biasanya sisi Utara dan Selatan). Yang ketiga adalah melengkapi bangunan dengan alat-alat pembayangan baik secara vertikal maupun horizontal. Strategi yang ke empat yang dapat diterapkan adalah menjaga ketinggian dinding dan atap yang memungkinkan cahaya dan angin masuk ke bangunan dan sekaligus dapat mengurangi panas yang masuk dan tempias dari ait hujan. Strategi kelima adalah menerapkan pencahayaan dari atas, terutama untuk denah bangunan yang terlalu luas. Pada strategi yang kelima ini, aspek panas yang masuk tetap harus dipertimbangkan.
Pendekatan Non
Arsitektural
Konsep pendekatan non arsitektural ini adalah dititikberatkan pada penggunaan teknologi yang dapat memanfaatkan kelebihan panas di daerah tropis. Alat ini berupa panel surya (Photovoltaic Panel), yaitu sebuah panel, yang ditempatkan di bidang atap (Building Integrated Photovotaics) atau di halaman, yang dapat menyerap dan menyimpan energi panas yang dihasilkan oleh panas matahari. Energi panas yang tersimpan oleh panel Surya ini diubah menjadi energi listrik yang selanjutnya dapat digunakan untuk menyalakan alat-alat elektrikal, pencahayaan buatan dan penghawaan buatan terutama pada penggunaan malam hari. Pada siang hari sistim penghawaan dan pencahayaan lebih difokuskan pada pendekatan alami (natural cooling and lighting). Permasalahannya adalah pengadaan panel surya ini juga tidak murah. Namun untuk jangka panjang Panel Surya ini sangat efektif untuk penghematan energi.
Sementara untuk sistim pencahayaan buatan, penggunaan lampu-lampu hemat energi dapat membantu mengurangi konsumsi energi. Yang dimaksud lampu energi adalah penggunaan lampu-lampu yang mempunyai tingkat efikasi tinggi, artinya mempunyai tingkat Illuminasi cahaya tinggi (Lux)/ watt. Oleh karena itu penggunaan lampu jenis SL dengan wattage rendah (8 – 11 watt) tetapi mempunyai tingkat illuminasi 560 – 770 Lux sangat disarankan. Tingkat illuminasi sebesar itu sangat mencukupi untuk kegiatan sehari-hari yang berkisar 150 – 400 lux. Keuntungan dari dari pemakaian lampu hemat energi adalah tidak menimbulkan efek panas pada ruang.
Konsep pendekatan non arsitektural ini adalah dititikberatkan pada penggunaan teknologi yang dapat memanfaatkan kelebihan panas di daerah tropis. Alat ini berupa panel surya (Photovoltaic Panel), yaitu sebuah panel, yang ditempatkan di bidang atap (Building Integrated Photovotaics) atau di halaman, yang dapat menyerap dan menyimpan energi panas yang dihasilkan oleh panas matahari. Energi panas yang tersimpan oleh panel Surya ini diubah menjadi energi listrik yang selanjutnya dapat digunakan untuk menyalakan alat-alat elektrikal, pencahayaan buatan dan penghawaan buatan terutama pada penggunaan malam hari. Pada siang hari sistim penghawaan dan pencahayaan lebih difokuskan pada pendekatan alami (natural cooling and lighting). Permasalahannya adalah pengadaan panel surya ini juga tidak murah. Namun untuk jangka panjang Panel Surya ini sangat efektif untuk penghematan energi.
Sementara untuk sistim pencahayaan buatan, penggunaan lampu-lampu hemat energi dapat membantu mengurangi konsumsi energi. Yang dimaksud lampu energi adalah penggunaan lampu-lampu yang mempunyai tingkat efikasi tinggi, artinya mempunyai tingkat Illuminasi cahaya tinggi (Lux)/ watt. Oleh karena itu penggunaan lampu jenis SL dengan wattage rendah (8 – 11 watt) tetapi mempunyai tingkat illuminasi 560 – 770 Lux sangat disarankan. Tingkat illuminasi sebesar itu sangat mencukupi untuk kegiatan sehari-hari yang berkisar 150 – 400 lux. Keuntungan dari dari pemakaian lampu hemat energi adalah tidak menimbulkan efek panas pada ruang.
Dengan menerapkan
strategi-strategi di atas diharapkan konsep bangunan hemat energi dapat
dilakukan oleh masyarakat. Dan ketergantungan kita pada energi listrik yang ber
BBM dapat diminimalkan
Contoh banguan positif hemat energi :
Contoh banguan positif hemat energi :
Properti yang ramah lingkungan kini
tidak sekadar kebutuhan manusia. Lebih dari itu, properti yang ”hijau” dan
hemat energi telah menjadi tren global yang mempercepat pergerakan roda
industri properti, sekaligus simbol kemajuan teknologi
Efisiensi, kemudahan, mobilitas tinggi,
serba instan atau apapun namanya merupakan bagian dari kehidupan urban. Sebuah
gaya hidup yang paling diminati oleh sebagian besar orang sebagai manusia
modern. Pola hidup urban dianggap dapat mendatangkan keuntungan lebih besar
dari segi material, maka dari itu orang berbondong-bondong memadati perkotaan.
Prinsip dasar arsitektir hijau
1. Hemat energi / Conserving energy :
Pengoperasian bangunan harus meminimalkan penggunaan bahan bakar atau energi
listrik ( sebisa mungkin memaksimalkan energi alam sekitar lokasi bangunan ).
2. Memperhatikan kondisi iklim / Working
with climate : Mendisain bagunan harus berdasarkan iklim yang berlaku di lokasi
tapak kita, dan sumber energi yang ada.
3. Minimizing new resources : mendisain
dengan mengoptimalkan kebutuhan sumberdaya alam yang baru, agar sumberdaya
tersebut tidak habis dan dapat digunakan di masa mendatang /
Penggunaan material bangunan yang tidak
berbahaya bagi ekosistem dan sumber daya alam.
4. Tidak berdampak negative bagi
kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan tersebut / Respect for site :
Bangunan yang akan dibangun, nantinya jangan sampai merusak kondisi tapak
aslinya, sehingga jika nanti bangunan itu sudah tidak terpakai, tapak aslinya
masih ada dan tidak berubah.( tidak merusak lingkungan yang ada ).
5. Merespon keadaan tapak dari bangunan
/ Respect for user : Dalam merancang bangunan harus memperhatikan semua
pengguna bangunan dan memenuhi semua kebutuhannya.
6. Menetapkan seluruh prinsip –
prinsip green architecture secara keseluruhan: Ketentuan diatas tidak baku,
artinya dapat kita pergunakan sesuai kebutuhan bangunan kita.
Contoh Bangunan Hemat Energi
Building and
Construction Academy (BCA) telah memberi contoh bagaimana sebuah bangunan bisa
disebut hijau (green). BCA membangun kembali gedungnya yang disebut BCA Academy
hingga menjadi sebuah kompleks bangunan yang disebut zero energy building (ZEP)
atau bangunan nol energi.
Disebut nol
energi karena bangunan yang dirancang oleh DP Architect itu memproduksi energi
untuk keperluan sehari-hari dengan menggunakan panel tenaga matahari. BCA
Academy juga memanfaatkan kekayaan alam semaksimal mungkin.
Selain
menggunakan tenaga matahari sebagai sumber energi, mereka juga menampung air
hujan untuk digunakan sebagai toilet. Hampir tidak ada sisi gedung yang tidak
terkena sinar matahari sehingga menghemat penggunaan listrik untuk penerangan,
terutama di siang hari.
Dibandingkan
dengan gedung-gedung dengan kapasitas serupa, penggunaan energi di BCA Academy
jauh lebih hemat. Berdasarkan tarif listrik 21,69 sen per kwh, bangunan ini
berhasil menghemat pengeluaran hingga 84.000 dollar Singapura per tahun.
Sejumlah
fitur menarik dari bangunan seluas 4.500 meter persegi itu antara lain sistem
peneduh yang ditempatkan secara strategis sehingga bangunan terlindung dari
terik matahari, namun interior bangunan tetap mendapat cahaya alami.
Di negara
tropis, penggunaan energi listrik terbesar adalah untuk air conditioner. Para
arsitek BCA menyiasati tingginya temperatur dengan tanaman rambat yang ditanam
secara vertikal. Ada dua manfaat sekaligus dengan sistem ini, yaitu dinding
terlindung dari paparan langsung sinar matahari sekaligus untuk menurunkan
temperatur dalam ruangan.
Disini untuk menggunakan bangunan
Hemat energi bisa menggunakan Jenis Bahan-bahannya,yaitu:
- Semen, keramik, batu bata, aluminium, kaca, dan
baja sebagai bahan baku utama dalam pembuatan sebuah bangunan berperan
penting dalam mewujudkan konsep bangunan ramah lingkungan.
- kerangka bangunan utama dan atap, sekarang
material kayu sudah mulai digantikan material baja ringan. illegal
logging akibat pembabatan kayu hutan yang tak terkendali
menempatkan bangunan berbahan kayu mulai berkurang .
Baja ringan dapat dipilih berdasarkan beberapa tingkatan kualitas tergantung dari bahan bakunya. Rangka atap dari baja memiliki keunggulan yaitu lebih kuat, antikarat, antikeropos, antirayap, lentur, mudah dipasang, dan lebih ringan sehingga tidak membebani konstruksi dan fondasi, serta dapat dipasang dengan perhitungan desain arsitektur dan kalkulasi teknik sipil. - Kusen jendela dan pintu juga sudah mulai
menggunakan bahan aluminium sebagai generasi bahan bangunan masa datang.
Aluminium memiliki keunggulan dapat didaur ulang (digunakan ulang), bebas
racun dan zat pemicu kanker, bebas perawatan dan praktis (sesuai gaya
hidup modern), dengan desain khusus mengurangi transmisi panas dan bising
(hemat energi, hemat biaya), lebih kuat, tahan lama, antikarat, tidak
perlu diganti sama sekali hanya karet pengganjal saja, tersedia beragam
warna, bentuk, dan ukuran dengan tekstur variasi (klasik, kayu).
- Bahan dinding dipilih yang mampu menyerap panas
matahari dengan baik. Batu bata alami atau fabrikasi batu bata ringan
(campuran pasir, kapur, semen, dan bahan lain) memiliki karakteristik
tahan api, kuat terhadap tekanan tinggi, daya serap air rendah, kedap
suara, dan menyerap panas matahari secara signifikan.
- Penggunaan keramik pada dinding menggeser wallpaper merupakan
salah satu bentuk inovasi desain. Dinding keramik memberikan kemudahan
dalam perawatan, pembersihan dinding (tidak perlu dicat ulang, cukup
dilap), motif beragam dengan warna pilihan eksklusif dan elegan, serta
menyuguhkan suasana ruang yang bervariasi.
Fungsi setiap ruang dalam rumah berbeda-beda sehingga membuat desain dan bahan lantai menjadi beragam, seperti marmer, granit, keramik, teraso, dan parquet. Merangkai lantai tidak selalu membutuhkan bahan yang mahal untuk tampil artistik. - Konsep ramah lingkungan juga telah merambah ke
dunia sanitasi. Septic tank dengan penyaring biologis (biological
filter septic tank)berbahan fiberglass dirancang dengan
teknologi khusus untuk tidak mencemari lingkungan, memiliki sistem
penguraian secara bertahap, dilengkapi dengan sistem desinfektan, hemat
lahan, antibocor atau tidak rembes, tahan korosi, pemasangan mudah dan
cepat, serta tidak membutuhkan perawatan khusus..
- Penggunaan panel sel surya meringankan kebutuhan
energi listrik bangunan dan memberikan keuntungan tidak perlu takut
kebakaran, hubungan pendek (korsleting), bebas polusi, hemat listrik,
hemat biaya listrik, dan rendah perawatan. Panel sel surya diletakkan di
atas atap, berada tepat pada jalur sinar matahari dari timur ke barat
dengan posisi miring. Kapasitas panel sel surya harus terus ditingkatkan
sehingga kelak dapat memenuhi kebutuhan energi listrik setiap bangunan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar